Senin, Januari 28, 2008

Tak ada bendera setengah tiang di depan rumahku

Seminggu lamanya Indonesia (diminta) berkabung dan memasang bendera setengah tiang. Mantan presiden RI, Bpk Haji Soeharto yang Jenderal Purnawirawan itu telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa pada hari Minggu siang 27 Januari 2008. Hmm.. Apakah aku diharuskan memasang bendera setengah tiang, atau, apakah aku diharuskan berkabung? tidak ada yang menjawab.. :) maka aku memilih untuk bertindak atas dasar kejujuran. Tidak memasang bendera setengah tiang karena aku memang tidak merasakan dukacita itu. Salahkah aku?

Kebetulan aku adalah produk generasi yang menjalani masa muda di saat presiden Soeharto sedang berjaya, oleh karena itu kesan tentang gaya pemerintahannya masih menempel di benakku. Pengalamanku dengan teman-teman SMA dulu, ikut-ikutan berdemo anti Soeharto sampai akhirnya diangkut tentara ke Kantor Kodim (lihat posting "don't do this at home"), menambah dalam kesan itu. Saat itu situasi represif sangat kuat terasa. Kesewenang-wenangan dan pelanggaran HAM sering terjadi hanya saja terbungkus rapi oleh alasan pelanggaran UUD, Pancasila dan aturan. Kritik mengkritik dikondisikan sedemikian rupa menjadi suatu kesalahan besar yang seharusnya dihindari, Indonesiapun seakan 'milik' keluarga Soeharto dan kroninya, korupsi berjama'ah menggila, bukan cuma melebarkan sayapnya tetapi juga menancapkan fondasinya sampai berurat akar, bak alang-alang yang merusak kesuburan tanah, hingga kini amat sulit diberantas. Semua lembaga pemerintahan bisa diatur sesuai 'selera'nya. DPR, MPR, dan MA tunduk terhadap kehendaknya. Tidak jelas lagi apa fungsi lembaga-lembaga itu sebenarnya. Bahkan ABRI pun dibuat begitu tunduk dan patuh kepadanya, hingga lupa akan fungsinya untuk melindungi rakyat.

Berapa banyak pemuda ataupun tokoh masyarakat yang pintar, berkualitas dan kritis akhirnya dicopot dari jabatan, dibatasi ruang lingkup dan peluangnya, atau dinyatakan bersalah dan masuk penjara tanpa alasan yang jelas. Bahkan aku ingat betul saat itu sering terdengar berita penculikan, orang-orang hilang begitu saja tanpa jejak, dan pada saat yang sama juga santer cerita tentang tempat penahanan dan penyiksaan tersembunyi. (http://dyhary.wordpress.com/2007/12/13/di-tempat-tempat-ini-para-aktivis-pernah-mampir/)

Ingin rasanya aku tidak mempercayainya, apalagi melihat wajah pak Harto yang senantiasa terlihat ramah dan tersenyum itu. Tapi setelah berpikir berulangkali aku selalu sampai pada logika yang tak masuk akal. Mana mungkin seorang presiden yang baik dan benar, membiarkan semua tindak kekerasan itu berlangsung. Mana mungkin ia membiarkan hukum terus menerus direkayasa dan menimbulkan ketidakadilan. Mana mungkin tindak korupsi dibiarkan merajalela, bahkan diberi peluang dan dukungan demi kemakmuran sekelompok orang termasuk keluarga dan kroninya kalau dia seorang presiden yang lurus. Aku juga tidak berharap presiden adalah seorang yang benar-benar ideal, tapi menurutku semua itu sudah keterlaluan dan terlalu terang-terangan membodohi rakyatnya. Maka akupun tidak lagi menaruh harapan, menyimpan rasa kagum apalagi bangga terhadapnya. Rasa keterikatan secara emosional pun sirna hingga kini. Maaf.

Sebutan Bapak Pembangunan seolah merupakan upaya untuk memberi ponten (nilai) bagus pada rapornya. Hmm.. kalau sekedar sebuah julukan mungkin aku setuju setuju saja karena memang di masa pemerintahannya pembangunan dan ekonomi berkembang pesat. Tapi lagi-lagi aku berpikir, 32 tahun lho beliau berkuasa, apa itu bukan waktu yang sangat cukup untuk melakukan sesuatu yang berarti dan bernilai tinggi bagi bangsa dan negara? Kalau tidak mencapai prestasi sedikitpun itu mah namanya kelewatan, lalu apa kata dunia ??? Maka kalau pesatnya pembangunan masih juga diartikan sebagai sebuah jasa, aku akan berpikir 1000x. Bukankah esensi dari kepresidenan adalah memimpin, melindungi dan menyejahterakan bahkan memajukan bangsanya?? jadi sudah sewajarnya lah, bahkan seharusnya lah, seorang presiden melakukan hal-hal besar demi bangsanya.

Maka benarlah apa kata Ajip Rosidi (penulis dan budayawan) di Harian Pikiran Rakyat tentang kepemimpinan Soharto : "Bahwa Soeharto telah membuat bangkrut negara yang diakui kaya raya dengan minyak bumi dan tambang lain, hutan, isi laut, adalah kenyataan yang sulit dibantah. Bahwa pada masa pemerintahannya, Indonesia dianggap maju ékonominya, dipuji oleh negara-negara maju dan lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF, sekarang kita tahu, hanya semacam konspirasi untuk kepentingan vested interest mereka. Dengan bantuan Soeharto sebagai presiden, mereka leluasa menguras kekayaan negara kita". Bahkan hingga saat ini hutang-hutang luar negeri itu masih meliliti negara kita dan akan jadi tanggungan seluruh rakyat Indonesia hingga... entah kapan.

Soeharto juga menggunakan tentara bukan untuk kepentingan seluruh bangsa, melainkan untuk memperkokoh kedudukan dan sistemnya. Sistem dwifungsi yang konsepnya dibuat oleh Jenderal A.H. Nasution oleh Soeharto (meskipun Nasution sendiri disingkirkan) digunakan secara efektif dan efisien. Dengan dia sendiri berpangkat sebagai Jenderal (kemudian Jenderal Besar) dan menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, dia dapat menentukan arah dan fungsi tentara demi kepentingan pribadi dan sistemnya (Ajip Rosidi).

Maka saat beliau wafat, entah mereka lupa, entah terbawa emosi dukacita, entah karena dulu tersangkut 'dosa', lalu beramai ramai orang berkata dengan 'bijak' agar masyarakat memaafkan dosa-dosanya. Aku pun jadi bingung dan berpikir. Apa yang harus aku maafkan? wong kenal secara pribadi juga nggak kok.. :) kalau saja aku kenal sebagai pribadi pasti aku akan memaafkan segala dosa dan kesalahannya padaku, demikian juga sebaliknya, aku ingin dia juga memaafkan aku. Tapi masalahnya aku hanya kenal dia sebagai seorang presiden, dulu, oleh karena itu aku pun hanya dapat menilai dan merasakan kesan atas kepemimpinannya. Jadi untukku ini bukan masalah maaf memaafkan kesalahan, tapi lebih kepada seberapa tinggi aku dapat mengapresiasi nya serta seberapa baik dan dalam kesan yang ditinggalkannya. Dengan memaafkan tidak serta merta berarti semua penilaian dan kesan itu hilang bukan?
Dan..
yang tak kalah penting, mana berani gw bikin tulisan macam begini di jaman itu.. ;)

RISN

Tidak ada komentar: